Camly - A Responsive Blogger Theme, Lets Take your blog to the next level.

This is an example of a Optin Form, you could edit this to put information about yourself.


This is an example of a Optin Form, you could edit this to put information about yourself or your site so readers know where you are coming from. Find out more...


Following are the some of the Advantages of Opt-in Form :-

  • Easy to Setup and use.
  • It Can Generate more email subscribers.
  • It’s beautiful on every screen size (try resizing your browser!)
by · No comments:

Air Terjun Sipiso-piso, Permata di Tanah Karo

Ketika seseorang berkunjung ke Sumatera Utara, tujuan utama wisata mereka pastilah Danau Toba. Air terjun Sipiso-piso pun berada di tepi Danau Toba, sayangnya objek wisata yang sangat menarik ini kurang dikunjungi wisatawan karena letaknya di tepi yang berbeda dengan kota Parapat, di mana wisatawan biasanya berkunjung.
Sipiso-piso terletak di sebelah utara Danau Toba, sekitar 24 kilometer dari Kabanjahe. Air terjun ini merupakan yang tertinggi di Indonesia dengan ketinggian 120 meter. Air terjun Sipiso-piso terbuat dari sungai bawah tanah di plato Karo yang mengalir melalui sebuah gua di sisi kawah Danau Toba. 
Ketika saya berkesempatan berkunjung ke tempat ini, pemandangan air terjun sungguh luar biasa. Air terjun yang kecil namun tinggi jatuh di antara tebing berwarna kehijauan. Dari gardu pandang yang dibangun pemerintah di Merek ini pengunjung tidak hanya dapat menikmati pemandangan air terjun, melainkan juga Danau Toba. 
Air terjun Sipiso-piso berada di sekitar 800 meter di atas permukaan air laut. Air terjun itu deras mengalir ke bawah mengiris bukit-bukit hijau yang ditumbuhi pohon pinus. Sipiso-piso sendiri arti harafiahnya adalah “pisau”. 
Anda tidak hanya dapat melihat air terjun dari kejauhan, namun turun untuk mendekatinya. Tangganya terjal dan cukup jauh sehingga pastikan anda memiliki stamina yang kuat serta membawa bekal air minum. Turunnya mungkin tidak menjadi masalah, namun untuk naik kembali ratusan tangga setelah selesai bermain-main air di bawah tentu cukup melelahkan. 
Gardu pandang ini sendiri cukup luas, dan ketika itu banyak dikunjungi oleh wisatawan setempat. Sayangnya infrastruktur di gardu pandang ini kurang memadai. Hanya ada fasilitas dasar seperti toilet dan warung, yang menurut saya jumlah serta kebersihannya kurang memadai. Pengunjung yang ingin mengeksplorasi daerah ini lebih lanjut sebaiknya menginap di desa terdekat, yaitu Tongging. 

Tongging
Tongging berada di tepi Danau Toba, di bagian utara. Di Tongging anda dapat melakukan berbagai aktivitas, seperti misalnya berenang di danau, melakukan trekking di hutan, atau mengunjungi satu air terjun kecil bernama Sidompak. Anda dapat naik ke Gunung Sipiso-piso, dan melakukan paragliding dari puncaknya.
Selain berenang, anda juga dapat naik perahu yang disewa dari nelayan setempat untuk berkeliling danau. Bersepeda dari satu desa ke desa lain juga merupakan aktivitas menyenangkan untuk melihat kehidupan sehari-hari penduduk Karo. Bagi anda penggemar kain-kain etnik, anda dapat pergi ke Desa Silalahi di Sabungan, Dairi. Desa ini terletak sekitar 11 km dari Tongging. 
Penduduk Desa Tongging kebanyakan adalah nelayan dan petani. Mereka bertani padi dan bawang serta mencari ikan di danau Toba. Ikan mas arsik dan ikan nilai merah merupakan jenis ikan yang umum diternakkan di Danau Toba. Anda harus mencoba sajian ikan dengan bumbu tradisional 
Beberapa pilihan akomodasi di Tongging antara lain Wisma Sibayak, Wisma parultop, dan Roman Sinasi Bungalows, yang semuanya ada di Jalan Silalahi, Tongging. Berwisata ke sini sangat cocok untuk para backpacker dengan anggaran terbatas karena akomodasi pun murah meriah. 

Menuju ke Sipiso-piso
Ketika saya berkunjung ke Sipiso-piso, saya sedang melakukan perjalanan mengelilingi Sumatera Utara dengan awal di Berastagi, melalui Kabanjahe, ke Sipiso-piso, Pematang Siantar, Parapat, Tuk-Tuk, dan berakhir di Bukit Lawang. 
Karena anggaran yang terbatas, saya memilih menggunakan angkutan umum melalui jalan lintas Pematang Siantar. Dari Berastagi saya menggunakan bus umum yang menuju ke Kabanjahe –ibu kota kabupaten Tanah Karo , dengan tarif kurang dari 5 ribu rupiah. 
Di Kabanjahe, saya menaiki angkutan pedesaan yang melintasi Merek. Dari pertigaan jalan utama, saya memilih becak motor untuk sampai di gardu pandang. Dari gardu pandang Anda masih harus menempuh perjalanan dengan angkutan umum atau becak ke Tongging, dengan jalanan yang menurun. 
Bagi Anda yang menggunakan kendaraan pribadi, perjalanan ke Sipiso-piso lebih mudah. Dari Berastagi, Anda hanya akan membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Pemandangan alam dan pedesaan di Tanah Karo sangat menarik, sayangnya jalanan kurang baik. Jadi, berhati-hatilah.

Read More
by · No comments:

Pantai Megalitikum di Ujung Barat Sumba

Sumba barat daya menunjukkan keindahannya melalui Kampung Ratenggaro. Kampung ini istimewa karena terletak pada sebuah tebing di tepi pantai Ratewoyo. Posisinya menghadap ke lautan lepas dengan ombak yang besar memecah karang. Lurus ke depan, tak ada lagi daratan hingga tiba di Afrika.
Kampung ini semula terletak di tanjung yang letaknya tepat di tepi pantai. Namun abrasi dan pasang laut menyebabkan air masuk ke rumah, sehingga penduduk memutuskan untuk memindahkan kampung ke tebing yang lebih tinggi.
Pada bekas kampung di tepi pantai masih tersisa kumpulan kubur batu megalitikum. Bentuknya berbeda dengan kubur batu lempengan bertiang seperti di kota Waikabubak. Kubur batu yang ada di sini terbuat dari batu utuh dengan tinggi lebih dari dua meter dan dihiasi tulisan serta gambar kuno.
Duduk di samping kubur batu kuno menyaksikan pantai cantik dengan ombak berdebur, saya mengerti kenapa Sumba begitu dipuja akan kekayaan budaya dan kecantikan alamnya. Pantai berpasir putih lembut diapit karang dan tebing tinggi mengingatkan saya pada Tanah Lot di Bali. Tentu saja, pantai ini jauh lebih indah dan sangat sepi. Sayangnya saya datang saat mendung sehingga tak bisa menyaksikan senja.
Di pantai itu saya bertemu dengan bapak tua bernama Thomas yang memainkan alat musik tradisional yang terbuat dari kayu. Petikan dawainya menambah suasana magis yang rasa rasakan di tempat itu. Kelelahan akibat perjalanan dengan motor selama dua jam langsung hilang.


Kampung tersebut terletak di daerah Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya. Kodi ada di ujung barat pulau Sumba. Tempat ini berjarak sekitar 80 kilometer dari kota tempat saya menginap, Waikabubak. Dilihat di peta jalan ini agak memutar, tapi inilah jalan yang kondisinya paling baik.
Kali ini saya diantar oleh pemandu bernama Timoteus Pingge, penduduk asli Sumba. Meskipun dia bilang jalan yang kami lewati kondisinya paling baik, tetap saja kami harus melewati kubangan dan jalan berlubang. Sepanjang perjalanan kami bertemu rombongan anak-anak sekolah yang tersenyum ramah dan menyapa setiap pengendara yang berpapasan dengan mereka. “Siang ibu, siang bapa,” kata mereka. Awan mendung menggantung sehingga beberapa kali kami harus berteduh dari hujan.
Sawah, rumah di tepi jalan dengan kubur batu di halaman, jurang dan hutan menjadi suguhan yang menakjubkan untuk mata sepanjang perjalanan. Sebelum berangkat, kami membeli oleh-oleh penduduk desa. Rokok untuk bapak-bapak, sirih pinang untuk para ibu dan permen untuk anak-anak.
Tinggal di daerah yang begitu cantik tak banyak berpengaruh terhadap kesejahteraan warga kampung. Hanya segelitir dari mereka yang mencari penghidupan dari laut. Apalagi, kampung ini hanya terdiri atas lima rumah adat. Kebakaran yang terjadi empat tahun lalu membakar nyaris seluruh rumah di kampung. Dari 13 rumah, hanya satu yang selamat.


Kampung adat Sumba memang punya risiko kebakaran yang tinggi. Atap rumah yang terbuat dari ilalang mudah terbakar pada musim kemarau. Api menjalar terbawa angin, sehingga kebakaran biasanya memusnahkan seluruh rumah di kawasan.
Membangun ulang rumah adat tidak murah. Warga kampung bercerita bahwa sebuah rumah membutuhkan empat tiang utama agar tetap tegak berdiri. "Satu kayu harganya sama dengan seekor kerbau besar," kata para penghuni kampung. Itu baru biaya untuk tiang utama, belum menghitung biaya untuk membangun dinding, lantai dan atap. Selain biaya yang mahal, bahan-bahan yang semula mudah didapat dari hutan kini semakin sulit dicari.
Selanjutnya saya mengunjungi Kampung Paronabaroro. Kondisi kampung di daerah ini berbeda dengan kampung yang saya jelajahi di kota Waikabubak sebelumnya. Letaknya yang terpencil membuat kampung ini masih sangat sederhana. Kepercayaan Marapu masih dipegang erat oleh para penghuninya.
Perempuan tua mengenakan kain tanpa penutup dada. Pria dan wanita mengunyah sirih pinang yang membuat ludah mereka berwarna merah kesumba. Kebiasaan ini dimulai sejak umur belasan dan membuat bibir nampak merah seakan memakai gincu. Kuda tertambat di samping rumah sebagai lambang status sosial keluarga.
Jalan masuk menuju kampung ini berupa jalan setapak sepanjang kira-kira 4 kilometer. Pada bagian depan kampung terdapat tanah lapang penuh kubur batu yang lebih baru. Sebagian sudah dimodifikasi dengan menggunakan semen, bukan lagi batu utuh.
Kubur batu dengan usia lebih tua terletak di bagian tengah kampung. Kompleks kubur batu mengelilingi sebuah altar tempat pelaksanan upacara adat. Tak sembarang orang boleh menginjakkan kaki ke tempat yang dianggap keramat itu.
Listrik baru saja masuk di kawasan ini pada akhir bulan Januari. Sumber listrik berasal dari genset yang bahan bakarnya diisi dengan cara patungan dengan beberapa kampung di sekitar. Untuk menghemat biaya, mereka hanya menggunakannya pada malam hari.
Read More
by · No comments:

Taman Laut di Raja Ampat

Siapa bilang di tanah Papua tidak ada objek pariwisata bahari yang memukau? Selama ini Papua lebih dikenal dengan eksotisme kebudayaannya yang sederhana serta sumber daya alamnya yang melimpah. Namun, datanglah ke Raja Ampat, dan nikmati keindahan terumbu karang, lengkap dengan biota laut menawan serta pemandangan bahari yang mengesankan.

Tak salah bila kemudian Putri Indonesia 2005 Nadine Chandrawinata menyatakan kekagumannya pada kawasan ini setelah melakukan penyelaman, merasakan sajian panorama bawah laut Raja Ampat yang sangat memikat. Penggemar snorkeling dan diving memang dijamin tidak akan kecewa. Sebaliknya, mereka bakal terpanggil untuk datang dan datang lagi.

Raja Ampat adalah pecahan Kabupaten Sorong, sejak 2003. Kabupaten berpenduduk 31 ribu jiwa ini memiliki 610 pulau (hanya 35 pulau yang dihuni) dengan luas wilayah sekitar 46.000 km2, namun hanya 6.000 km2 berupa daratan, 40.000 km2 lagi lautan.

Pulau-pulau yang belum terjamah dan lautnya yang masih asri membuat wisatawan langsung terpikat. Kepulauan Raja Ampat terletak di barat laut kepala burung Pulau Papua, dengan kurang lebih 1500 pulau kecil dan atoll serta 4 pulau besar utama, yakni Misol, Salawati, Bantata dan Waigeo. Inilah yang kemudian menjadikan Raja Ampat taman laut terbesar di Indonesia.

Wilayah ini sempat menjadi incaran para pemburu ikan karang dengan cara mengebom dan menebar racun sianida. Namun, masih banyak penduduk yang berupaya melindungi kawasan itu sehingga kekayaan lautnya bisa diselamatkan. Terumbu karang di laut Raja Ampat dinilai terlengkap di dunia. Dari 537 jenis karang dunia, 75 persennya berada di perairan ini. Ditemukan pula 1.104 jenis ikan, 669 jenis moluska (hewan lunak), dan 537 jenis hewan karang. Luar biasa!


Bank Dunia bekerja sama dengan lembaga lingkungan global menetapkan Raja Ampat sebagai salah satu wilayah di Indonesia Timur yang mendapat bantuan Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) II, sejak 2005. Di Raja Ampat, program ini mencakup 17 kampung dan melibatkan penduduk lokal. Nelayan juga dilatih membudidayakan ikan kerapu dan rumput laut.

Khusus untuk Anda yang tidak tertarik dengan aktivitas menyelam, hamparan laut biru yang membiaskan keindahan langit, taburan pasir putih yang memancarkan kilaunya bagaikan mutiara, bisa dinikmati. Selain itu, masih ada gugusan pulau-pulau yang memesona dan flora serta fauna unik seperti cenderawasih merah, cenderawasih Wilson, maleo waigeo, beraneka burung kakatua dan nuri, kuskus waigeo, serta beragam jenis bunga anggrek.

Papua Diving di pulau Mansuar adalah salah satu resort terkemuka yang berada di kawasan ini. Wisatawan-wisatawan mancanegara penggemar selam betah selama berhari-hari bahkan sebulan berada di Raja Ampat menikmati keindahan yang ada di sana dan menginap di Papua Diving.


Maximillian J Ammer, warga negara Belanda pemilik Papua Diving Resort yang juga pionir penggerak wisata laut kawasan ini, harus mati-matian menyiapkan berbagai fasilitas untuk menarik turis dari mancanegara. Sejak memulai usahanya delapan tahun lalu, banyak dana harus dikeluarkan. Namun, hasilnya juga memuaskan. Setiap tahun resor ini dikunjungi minimal 600 turis spesial yang menghabiskan waktu rata-rata dua pekan.

Penginapan sangat sederhana yang hanya berdinding serta beratap anyaman daun kelapa itu bertarif minimal 75 euro atau Rp 900.000 semalam. Jika ingin menyelam harus membayar 30 euro atau sekitar Rp 360.000 sekali menyelam pada satu lokasi tertentu. Kebanyakan wisatawan datang dari Eropa. Hanya beberapa wisatawan asal Indonesia yang menginap dan menyelam di sana.

Pulau Kri, Waigeo, serta Misool juga menyiapkan resort buat pengunjung. Di pulau Misool ada Eco Resort yang dibangun dengan menerapkan prinsip-prinsip konservasi alam yang ketat. Ada kesepakatan dengan penduduk adat di sekitar wilayah tersebut untuk menjaga ekosistem terpadu yang disebut “No Take Zone” yakni melarang eksploitasi pengambilan apapun dari laut, mulai dari berburu kerang, telur penyu,sirip ikan hiu sampai hanya sekedar mencari ikan. Secara ekstrim, malah di eco resort ini mengharamkan penggunaan antiseptik karena limbah buangannya dikhawatirkan akan membunuh ekosistem terumbu karang di sekitarnya.

Beberapa resor menetapkan harga relatif mahal karena menyuguhkan fasilitas lengkap. Wisatawan dengan biaya terbatas juga dapat memanfaatkan resort milik pemerintah yang jauh lebih murah di daerah Waisai, ibu kota Raja Ampat.

Anda harus terbang dulu ke Bandara Domne Eduard Osok, Sorong, Papua, lalu langsung menuju lokasi dengan kapal cepat berkapasitas sekitar 10 orang yang tarifnya Rp 3,2 juta sekali jalan. Perlu waktu sekitar 3-4 jam untuk mencapai kawasan Raja Ampat khususnya ke Pulau Mansuar.

Untuk berkeliling pulau yang diinginkan, kita dapat menyewa speedboat kapasitas 10 orang dengan harga Rp 3-5 juta per 8 jam, tergantung kepandaian kita menawar. Kita juga bisa mengambil paket wisata dengan mengunjungi perkampungan untuk melihat tanaman dan hewan khas setempat seperti burung Cendrawasih.

Untuk masuk ke kawasan Raja Ampat, setiap orang harus membayar biaya masuk sebesar Rp 250 ribu untuk wisatawan domestik, dan Rp 500 ribu untuk wisatawan dari mancanegara. Sebuah pin bulat yang berfungsi seperti identitas ini akan kita terima, setelah membayar biaya tersebut.

Uniknya, pin ini berlaku untuk satu tahun, sejak 1 Januari hingga 31 Desember. Jadi jika dalam satu tahun itu kita bolak-balik mengunjungi Raja Ampat, hanya perlu membayar biaya masuk satu kali saja. Tentu saja pin tadi tidak boleh hilang dan harus kita kenakan sebagai tanda pengenal.
Read More